Oleh : Muhammad Adriansyah
(I)
Aku mengingat senyummu dalam bisikan gerbang yang rindu saat kita berjalan pulang, atau kecupan lantai yang diam-diam menyelipkan tawamu di dalam saku bajuku, membuatku tersipu malu untuk kembali mengucap namamu..
rasanya seperti jam tua di persimpangan kota, tak bergerak walau waktu kian beranjak. Atau layaknya sang jembatan yang di tompang para pilar penyangga, tetap setia tegak walau selalu kau injak..
(II)
Kasih…
jemari hujan yang turun pagi ini, menuliskan kembali cerita kita dalam kelopak mekar sekuntum mawar, tentang kisah klasik antara kau dan aku. Tiap kali ia menggoreskan wajahmu dalam benakku, bola matamu membuatku ragu dengan kata yang terucap waktu itu..
jemari hujan yang turun pagi ini, menuliskan kembali cerita kita dalam kelopak mekar sekuntum mawar, tentang kisah klasik antara kau dan aku. Tiap kali ia menggoreskan wajahmu dalam benakku, bola matamu membuatku ragu dengan kata yang terucap waktu itu..
Kasih.. .
aku melihat mu sebagai baris jingga di penghujung senja, terbenam di antara garis batas fatamorgana. Dan aku hanya penikmat kanvas yang di lukis hari, mengenangmu sebagai setangkai edelweis yang tak pernah mati..
aku melihat mu sebagai baris jingga di penghujung senja, terbenam di antara garis batas fatamorgana. Dan aku hanya penikmat kanvas yang di lukis hari, mengenangmu sebagai setangkai edelweis yang tak pernah mati..
(III)
saat pijar pagi mulai menanggalkan gaun malamnya, ku tuliskan surat cintaku yang pertama, untuk dandelion yang mengembara di angkasa. Dan beberapa helai daun akasia di halaman sekolah kita..
jika rinduku sesekali melirikmu, izikan aku menatapmu lebih lama dari biasanya. Lebih lama dari usia jam tua di kota kita.. lebih lama dari kokohnya sang jembatan yang di tompang para pilar penyangga.. lebih lama dari bingkisan yang berdebu dan baju kusam di lemariku..
Banda Aceh, 30 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar